"hidup itu pilihan" setiap tindakan yang akan kita lakukan pasti sebelumnya harus dibenturkan dulu dengan apa yang dikatakan dengan "pilihan". pilihan menjadi orang jahat atau orang baik, menjadi muslim atau non muslim, menjadi kaya atau miskin, menjadi pembelajar atau pekerja, menjadi orang jujur atau pendusta, menjadi idealis atau penjilat, dan masih banyak menjadi menjadi yang lainnya, yang memang biasanya atau bahkan dapat dikatakan "pasti" selalu berkaitan dengan dua hal yang berlawanan, yang satu sifatnya cenderung positif, sedangkan yang lainnya sifatnya cenderung negatif. tiba-tiba saya menjadi teringat tentang kata-kata yang pernah ayah saya ceritakan mengenai nasehat dari laki-laki yang telah merawatnya dari kecil hingga dewasa yang merupakan kakek angkat saya, waktu itu ayah menceritakan tentang nasehatnya ini ketika seisi rumah sedang terpukul perihal perkawinan kakak laki-laki saya dengan seorang wanita khatolik, kira-kira begini nasehatnya "jika mau menjadi Muslim, jadilah muslim yang baik. tapi jika mau jadi Kristen, jadilah Kristen yang baik". terhenyak saya dalam pemikiran dan analisa yang terus menari-nari dalam pemikiran saya.
dalam pandangan beberapa orang muslim, mungkin nasehat seorang bapak seperti ini, agak rancu terdengarnya, sebab dapat menimbulkan penafsiran yang amat bervariasi, bahkan akan cenderung menimbulkan pandangan yang buruk, karena dari pernyataan ini seolah-olah melegalkan orang untuk beragama diluar non Islam. namun, saya secara pribadi menanggapinya berbeda. buat saya, nasehat ini merupakan suatu pandangan hidup yang menjelaskan bahwa bagaimana kita, apapun kita, dalam keadaan serumit atau senista apapun kala itu, maka yang harus tetap ditanamkan adalah "kita harus tetap menjadi seorang yang baik". baik memang sangat luas maknanya, mungkin jika saya menjelaskan tentang kebaikan dalam satu entri pada blog ini pun tak cukup karakternya, tetapi saya memiliki analisa dari sisi yang lain tentang "baik" ini, berkenaan dengan berbagai kejadian yang tengah saya hadapi sekarang dalam kehidupan ini.
memang jelas, orang tua saya entah ayah atau mama saya yang secara bersinergi selalu menanamkan nilai-nilai moral tentang kebaikan, tentang bagaimana saya harus selalu bersikap baik kepada orang lain, tentang bagaimana saya harus selalu dalam keadaan baik, tentang bagaimana saya harus hidup dalam semua aspek kehidupan yang baik-baik. sudah sangatlah melekat nilai-nilai kebaikan yang telah diinternalisasi oleh kedua orang tua saya itu kedalam diri saya, sehingga saya pun mempunyai anggapan bahwa, seburuk apapun orang lain bersikap kepada saya, sejahat apapun orang lain kepada saya, sesulit apapun keadaan diri saya sendiri, saya tetap harus bersikap baik kepada siapa saja yang ada disekitar saya. namun, yang menjadi suatu titik kejanggalan hati saya saat ini adalah ketika bagaimana hati ini harus selalu diselaraskan dengan kenyataan pandangan orang lain yang selalu salah tafsir kepada semua hal yang saya anggap merupakan salah satu tujuan kebaikan untuk "dia" atau "mereka".
selalu, ada saja pandangan atau anggapan yang buruk tentang semua yang saya lakukan. dan jelas secara tidak langsung, disadari ataupun tidak, ini menjadi suatu reinforcement negatif untuk diri saya sendiri. terkadanga pikiran pendek pun terlintas dalam otak saya, sehingga sempat beberapa kali, saya merasa jenuh dan seolah tak berguna kemudian berpikir "lebih baik tidak menjadi orang baik sekalian, daripada saya mencoba untuk baik tetapi dipandang mempunyai tujuan yang negatif kepada orang lain". hmmm, mungkin ini yang dikatakan ujian ketika seseorang mau atau sedang berbuat baik, kira-kira pikiran positif inilah yang selalu dapat menenangkan hati saya yang tengah berkecamuk dengan lingkungan.
seperti ketika saya berhadapan dengan laki-laki yang selama kurang lebih dua tahun mengisi hati dan kehidupan saya. dimana saya yang memang terkadang terlihat berlebihan bersikap kepada dia, terlihat cerewet, terlihat banyak mengatur, dan terlihat banyak ikut campur dalam kehidupan pribadinya ini, menjadi sangat negatif dipandangnya entah itu oleh orang lain, oleh keluarganya sendiri, ataupun mungkin oleh dia juga. padahal, sejujurnya tak ada niat sedikit pun dari hati saya untuk menjadi begini begitu kepada dia yang cenderung dapat menimbulkan anggapan yang buruk kepada diri saya secara pribadi.
saya yang terkesan cerewet dengan pola hidupnya, dengan pola makan, pola tidur, itu tak lain bukan karena saya ingin mengatur apalagi menguasai dirinya secara pribadi, tetapi hal tersebut semata-mata saya lakukan karena saya sangat mengkhawatirkan kondisi fisikinya yang lemah, sistem imun yang tidak kuat, ditambah lagi karena dia mempunyai penyakit dalam yang cukup serius. tak ada niat sedikitpun dari hati saya untuk mendominasi dan mengatur kehidupannya. toh, itu memang belum menjadi hak saya sekarang, sebab saat ini status kami memang masih "berpacaran" beda hal ketika saya sudah menjadi istrinya kelak. tetapi, untuk saat ini saya merasa mempunyai kewajiban untuk membenahi kehidupannya yang terkadang "tidak beres" terutama dari pola hidupnya, yakni pola makan dan pola tidur. "saya hanya ingin kamu sembuh, saya hanya ingin kamu hidup sehat seperti orang lain tanpa harus mengidap penyakit dalam yang jika tidak ditangani serius dari sekarang, maka akan menjadi suatu masalah yang sangat besar dikemudian hari". supaya nanti kedepannya entah konteks nya kita masih bersama atau tidak, kamu tetap dapat menjalani kehidupan ini dengan baik, dengan raga yang sehat, dan pastinya dengan kehidupan yang lebih baik dari apapun yang sudah kamu dapatkan sebelumnya.
namun, terkadang dia tak dapat menangkap maksud saya ini dengan baik. terkadang yang ada kami bertengkar, kesal-kesalan atau marah untuk hal yang rumit bahkan terkadang sepele. jujur, bukan hal seperti ini yang saya inginkan, bukan hal seperti itu yang saya maksud, dan sebenarnya yang paling menjadi hal yang begitu menyakitkan bagi saya adalah ketika secara tidak langsung, sadar ataupun tidak, dia secara verbal telah menyakiti hati saya, dengan kata-katanya yang sederhana itu. ini semua hanya sebatas niat baik saya untuk mengukir penghidupan yang lebih baik untuk dia kedepannya. tetapi, dia menangkapnya berbeda.
ini yang membuat saya menjadi terkadang jenuh dengan semua hal yang berkaitan dengan kebaikan. hal-hal yang saya berikan kepada lingkungan sosial saya, terkadang bahkan seringnya itu sebenarnya saya hadirkan dengan maksud yang baik dibaliknya, namun acapkali dinilai negatif oleh lingkungan itu sendiri. lalu, salahkah sikap saya selama ini ???
saya hanya ingin menjadi orang baik, seperti apa yang telah ditanamkan oleh orang tua saya, seperti apa yang diharapkan orang tua saya dan keluarga saya. saya hanya menginginkan respon yang positif dari lingkungan agar saya dapat menguatkan perilaku-perilaku yang saya niatkan untuk kebaikan ini. jika tidak suka, katakan bagian yang mana yang dianggap menjadi penilaian negatif bagi "kamu" atau "kalian", tak selamanya saya dapat berpikir jernih, tak selamanya saya dapat selalu mengambil nilai positif dari setiap apa-apa yang saya terima. adakalanya saya bisa merasa kecewa...
#ditengah hiruk-pikuk 7 bahan bacaan psikologi klinis dan 5 bacaan psikologi lintas budaya untuk menghadapi UTS pagi dan siang hari ini...*
Dalam hal ini, Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan bahwa kebenaran tidak datang dari langit, ia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar. Kalimat itu didapatkan dari kultwit @zenrs (pengagum Pram nomor Wahid saya kira). Nah, kalau kebenaran juga harus diperjuangkan, mestinya kebaikan pun juga harus diperjuangkan.
BalasHapusHarus diingat, untuk menjadikan kesepakatan (konsensus) tentu prosesnya adalah perdebatan-perdebatan atau gesekan-gesekan. Entah gesekan ide atau gesekan-gesekan yang lain.
Kata Chair akan bermakna ketika kata itu dipakai oleh orang-orang yang paham dengan kata itu. Begitu pun dengan kata yang lain.